Cerita Lesehan – Pemerintah di Australia baru-baru ini mengesahkan UU yang memungkinkan karyawan menolak menanggapi kontak pekerjaan di luar jam kerja. Meskipun undang-undang ini disahkan pada Februari lalu, aturan ini baru diterapkan mulai 26 Agustus 2024.
Menteri Ketenagakerjaan dan Hubungan Kerja Australia, Murray Watt, menjelaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. “Kami ingin masyarakat menghormati kehidupan pribadi dan mengakui bahwa karyawan tidak dibayar di luar jam kerja untuk menjawab telepon,” ujar Watt dalam wawancara dengan Sky News, dikutip oleh The Independent.
“Simak Juga: Indonesia Juara Umum di Olimpiade Geografi Internasional 2024”
Dengan adanya undang-undang ini, karyawan kini dilindungi dari sanksi jika mereka menolak panggilan pekerjaan di luar jam kerja mereka. Namun, undang-undang ini tidak sepenuhnya melarang semua bentuk kontak. Pengusaha masih diperbolehkan menghubungi karyawan dalam keadaan darurat atau untuk pekerjaan dengan jadwal yang tidak teratur. Karyawan memiliki hak untuk menolak kontak yang dianggap tidak wajar. Jika terjadi perselisihan, karyawan dapat melaporkannya kepada Fair Work Commission (FWC). FWC yang akan mengevaluasi ketidakwajaran berdasarkan faktor-faktor seperti peran, keadaan pribadi, dan metode kontak.
Jika pengusaha terbukti melanggar ketentuan ini, FWC dapat mengenakan denda sebesar 19.000 dollar Australia (sekitar Rp198,45 juta). Denda maksimal bagi perusahaan dapat mencapai 94.000 dollar Australia (sekitar Rp981,83 juta). Kebijakan ini disambut baik oleh banyak karyawan. Kebijakan ini memberikan mereka rasa percaya diri untuk melawan ‘invasi’ terhadap kehidupan pribadi mereka melalui email, pesan teks, dan panggilan telepon kantor. Profesor Madya John Hopkins dari Universitas Teknologi Swinburne mencatat bahwa sebelum teknologi digital, gangguan semacam ini tidak terjadi, orang-orang sepenuhnya terputus dari pekerjaan saat pulang.
Perdana Menteri Anthony Albanese menekankan bahwa undang-undang ini juga berfokus pada kesehatan mental. Ia memastikan bahwa karyawan dapat memutuskan hubungan dengan pekerjaan dan terhubung dengan keluarga serta kehidupan pribadi mereka. “Kami ingin memastikan bahwa seperti halnya orang tidak dibayar 24 jam sehari, mereka juga tidak harus bekerja selama 24 jam sehari,” kata Albanese dalam wawancara dengan ABC.
Namun, beberapa kelompok pengusaha, termasuk Australian Industry Group, khawatir bahwa ambiguitas dalam penerapan aturan ini. Hal ini dapat menyebabkan kebingungan bagi atasan dan pekerja. Menurut Reuters, undang-undang ini mungkin mengurangi fleksibilitas pekerjaan dan dapat memperlambat ekonomi. Pada 2023, survei oleh Australia Institute menunjukkan bahwa warga Australia bekerja rata-rata 281 jam lembur tanpa upah. Ini dengan nilai ekonomi diperkirakan mencapai A$130 miliar (US$88 miliar). Undang-undang baru ini menempatkan Australia sejajar dengan sekitar 20 negara lain yang memiliki kebijakan serupa, terutama di Eropa dan Amerika Latin.
“Baca Juga: Erick Thohir Alokasikan Rp 3 Miliar untuk 20 Startup”